Penjelasan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
I.UMUM
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan
undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang." Namun, ruang
lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja
Undang-Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya,
selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada
pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara
hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan,
dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang
sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan
hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling
menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a.materi
dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan
kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian
hukum;
b.teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c.terdapat
materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan
hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai
penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan
baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
a.penambahan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis
Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.perluasan
cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c.pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.pengaturan
Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e.pengaturan
mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan,
peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; dan
f.penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
Secara
umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara
sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan
Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang;
pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan
Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang
memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta
pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan
merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak
diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan
Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1).
Selain materi baru tersebut, juga
diadakan penyempurnaan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan
terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan
untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan
pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah.
II.PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai
dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan "hukum dasar" adalah norma dasar bagi Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Huruf a
Yang
dimaksud dengan "asas kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
"asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat" adalah bahwa setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan" adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan "asas dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan "asas kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang
dimaksud dengan "asas kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud
dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas
bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku
dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf h
Yang
dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan"
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf i
Yang
dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Huruf j
Yang
dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain:
a.dalam
Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b.dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Ayat (2)
Cukup jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat" adalah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Termasuk
dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi
Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah
Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
Huruf g
Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan "Peraturan Menteri" adalah peraturan yang ditetapkan
oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
urusan tertentu dalam pemerintahan.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan "berdasarkan kewenangan" adalah penyelenggaraan urusan
tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Ayat (2)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan "perjanjian internasional tertentu" adalah perjanjian
internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan
Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan "tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi"
terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf eMateri muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Cukup jelas.
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Yang
dimaksud dengan "menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya" adalah
penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah
Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan
dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang
bersangkutan.
Pasal 13
Peraturan Presiden
dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Yang
dimaksud dengan "sistem hukum nasional" adalah suatu sistem hukum yang
berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu
dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan
yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang
dimaksud dengan "Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat"
adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan "pengkajian dan penyelarasan" adalah proses untuk
mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat
mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan "menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum" adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan "perjanjian internasional tertentu" adalah perjanjian
internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan
Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan "pengkajian dan penyelarasan" adalah proses untuk
mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat
mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan "instansi vertikal terkait" antara lain instansi
vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penugasan
menteri disertai penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang
telah disusun dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut, DPR telah menyelesaikan penyusunan DIM.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa sidang pertama
DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali Rancangan Undang-Undang.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tenggang
waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang
berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran
Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang
oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran
Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1)
Dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di DPRD Provinsi,
Gubernur dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan
keputusan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Dengan
diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah
mengetahuinya.
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Berlakunya
Peraturan Perundang-undangan yang tidak sama dengan tanggal
Pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan prasarana serta
kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang-undangan tersebut.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan "penyebarluasan" adalah kegiatan menyampaikan informasi
kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang
sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat
dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang-Undang tersebut
atau memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media
elektronik dan/atau media cetak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan "penyebarluasan" adalah kegiatan menyampaikan informasi
kepada masyarakat mengenai Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sedang
disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat
memberikan masukan atau tanggapan terhadap Peraturan Daerah tersebut
atau memahami Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan
Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media
elektronik dan/atau media cetak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk
dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat,
kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan "Perancang Peraturan Perundang-undangan" adalah pegawai
negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak,
secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan
menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum
lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
0 comments:
Post a Comment