Mau diunduh? klik ini "UNDUH"
PERCOBAAN(POGING)
A. Pengertian Percobaan
Percobaan
melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang
Aturan
Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari
pasal
53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina
Hukum
Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal
53:
(1)
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu
telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan
tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
(2)
Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam
percobaan
dikurangi sepertiga.
(3)
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling
lama
lima belas tahun.
(4)
Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan
Pasal
54:
Mencoba
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua
pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa
yang
dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging),
yang
selanjutnya
dalam tulisan ini disebut dengan percobaan.
Pengertian
percobaan tidak dijelaskan oleh undang-undang,
namun
yang ditetapkan bahwa percobaan melakukan tindak pidana
diancam
dengan pidana jika telah memenuhi sejumah persyaratan
tertentu.
Jika
mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu
diartikan
sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai
kepada
hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat
sesuatu,
sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang
bermaksud
membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak
mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang
itu.
Menurut
Jan Remmelink,2 dalam bahasa sehari-hari,
percobaan
dimengerti sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu
tanpa
(keberhasilan) mewujudkannya. “Upaya tanpa keberhasilan”,
demikian
dirumuskan oleh Pompe, guru besar dari Utrecht. Jika
kita
mengikuti jalan pikiran di atas, percobaan melakukan
kejahatan
dapat digambarkan sebagai suatu tindakan yang
diikhtiarkan
untuk mewujudkan apa yang oleh undang-undang
dikategorikan
sebagai kejahatan, namun tindakan tersebut tidak
berhasil
mewujudkan tujuan yang semula hendak dicapai. Syarat
bagi
percobaan yang dapat dikenai pidana, seperti yang dituntut
oleh
undang-undang, adalah bahwa ikhtiar pelaku harus sudah
terwujud
melalui (rangkaian) tindakan permulaan dan bahwa tidak
terwujudnya
akibat dari tindakan tersebut berada di luar kehendak si
pelaku.
Menurut
Wirjono Prodjodikoro, pada umumnya kata percobaan
atau
poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan yang pada
akhirnya
tidak atau belum tercapai.3 Jonkers menyatakan bahwa
mencoba
berarti berusaha untuk mencapai sesuatu tapi tidak tercapai.4
Satu-satunya
penjelasan yang dapat diperoleh tentang
pembentukan
Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang
menyatakan:
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet
voltooide
uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin
van
uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf
te plegen.
(Dengan
demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan
itu
adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah
dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu
kehendak
untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah
diwujudkan
di dalam suatu permulaan pelaksanaan).5
1 Soesilo, Kitab
UndangUndang
Hukum Pidana (KUHP) serta
KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1980),
hal.59.
2 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas pasalpasal
terpenting dari Kitab UndangUndang
Hukum Pidana Belanda dan
padanannyadalamKitabUndangUndangHukumPidanaIndonesia,(Jakarta:
GramediaPustakaUtama,2003),hal.285.
3 Wirjono Prodjodikoro, AsasAsas
Hukum Pidana di Indonesia,
(Bandung:Eresco,1969),hal.81
4 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,
(Jakarta:BinaAksara,1987),hal.155.
5 P.A.F. Lamintang, DasarDasar
Hukum Pidana Indonesia,
(Bandung:SinarBaru,1984),hal.511.
Percobaan
dan Penyertaan
3
Pasal
53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan
melakukan
kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP
hanya
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang
pelaku
dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu
percobaan.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b.
Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c.
Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak
dari
pelaku.
Oleh
karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan
percobaan
melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti
ada
padanya. Suatu percobaan dianggap telah terjadi jika memenuhi
ketiga
syarat tersebut.
Pada
umumnya menurut bunyi rumusan suatu delik, pelaku
dipidana
jika tindak pidana yang dilakukannya itu telah selesai
diwujudkan,
artinya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah
memenuhi
semua unsur tindak pidana (delik). Namun pembentuk
undang-undang
juga merasa perlu mengancam pidana karena telah
melakukan
suatu percobaan (poging) kepada seorang yang melakukan
suatu
perbuatan walaupun perbuatan tersebut belum memenuhi semua
unsur
delik sebagaimana yang telah dirumuskan dalam suatu undangundang,
jika
syarat-syarat suatu percobaan sebagaimana diatur dalam
Pasal
53 KUHP tersebut telah terpenuhi, sehingga undang-undang perlu
merumuskan
secara tersendiri tentang syarat-syarat untuk dapat
dipidananya
suatu percobaan kejahatan.
Menurut
Jonkers ada dua alasan bagi pembuat undang-undang
untuk
memberi pidana pada percobaan melakukan tindak pidana pada
umumnya,
yaitu:6
a.
Pemberantasan kehendak yang jahat yang ternyata dalam
perbuatan-perbuatan;
b.
Perlindungan terhadap barang hukum, yang diancam dengan
bahaya.
Berdasarkan
hal tersebut dapat diketahui bahwa seseorang yang
melakukan
suatu percobaan tindak pidana perlu diancam dengan pidana
dengan
alasan:
a.
Dilihat dari sudut subjektif, bahwa pada diri orang tersebut telah
menunjukkan
suatu perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat
jahat;
6J.E.Jonkers,Op.Cit.,hal.155.
Bab
I. Percobaan (Poging)
4
b.
Dilihat dari sudut objektif, bahwa perbuatan percobaan
melakukan
tindak pidana ini dipandang telah membahayakan
suatu
kepentingan hukum.
Percobaan
seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat
ini
menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang
melakukan
percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan
terhadap
delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan
pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga
dihukum.
Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan
pelanggaran
(mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang
telah
diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi,
dapat dipidana. Menurut Loebby Loqman, pembedaan antara
kejahatan
ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh
apakah
perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak
sengaja.
Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut
dilakukan
dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan
karena
kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran
ekonomi.7
Pemberian
pidana hanya terbatas kepada kejahatan, hal ini
berdasarkan
kepada bahwa pelanggaran pada umumnya tidak dianggap
cukup
penting untuk dapat dipidana apabila masih dalam keadaan belum
selesai.8
Menurut Jan Remmelink,9 penjelasan tentang pembatasan
ancaman
pidana hanya pada percobaan melakukan kejahatan dapat
ditemukan
pada kenyataan bahwa dalam hal pelanggaran, kualifikasi
sebagai
pidana sering bersumber pada kebutuhan untuk menata/
menertibkan,
jadi pada utilitas, ketimbang pada tuntutan perasaan
hukum.
Pelanggaran dianggap lebih ringan ketimbang kejahatan,
sehingga
percobaan melakukan pelanggaran dianggap tidak perlu
diancam
pidana. Sebagaimana kebanyakan delik (yang memunculkan
ancaman)
bahaya abstrak, pelanggaran pun ditujukan pada upaya-upaya
(tidak
tertentu) yang mengancam kebendaan hukum tertentu.
Selain
itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak
dapat
dihukum, misalnya percobaan menganiaya Pasal 351 ayat (5),
percobaan
menganiaya binatang Pasal 302 ayat (3), dan percobaan
perang
tanding yang diatur dalam Pasal 184 ayat (5).10 Jonkers11
menyebutkan,
bahwa alasan untuk kedua delik yang pertama adalah
7 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak
Pidana,(Jakarta:UniversitasTarumanagara,1996),hal.3.
8 Jonkers,Op.Cit.,hal.156.
9 JanRemmelink,Op.Cit.,hal.287.
10Soesilo,Op.Cit.,hal.61.
11Jonkers,Op.Cit.,hal.156.
Percobaan
dan Penyertaan
5
bahwa
kedua-duanya dianggap kurang penting untuk memberi pidana
pada
percobaan-percobaan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Percobaan
untuk melakukan penganiayaan yang bersifat istimewa,
seperti
penganiayaan berat, penganiayaan dengan perencanaan lebih
dahulu,
dapat dipidana karena alasan-alasan yang bermanfaat.
Pengancaman
dengan pidana terhadap percobaan untuk melakukan
perang
tanding telah dihapuskan, karena untuk mencegah, bahwa
dengan
pemberitahuan kepada polisi dengan maksud untuk mencegah
perang
tanding yang akan dilakukan, maka pihak-pihak yang
bersangkutan
(terlibat) akan diberikan pidana karena percobaan. Jika hal
ini
terjadi dikhawatirkan dalam banyak hal tidak akan dilakukan
pelaporan.
Ada
perbedaan pandangan tentang sifat delik percobaan
menurut
para ahli, apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik
khusus
yang berdiri sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang
tidak
sempurna. Mengenai hal ini ada dua pandangan:
1.
Percobaan dipandang sebagai dasar/alasan memperluas dapat
dipidananya
seseorang.
Menurut
pandangan ini bahwa, seseorang yang melakukan
percobaan
untuk melakukan suatu tindak pidana meskipun tidak
memenuhi
semua unsur delik, ia dipidana karena telah
memenuhi
rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi pendirian ini
menyatakan
bahwa sifat percobaan adalah memperluas
lingkungan
dapat dipidananya orang.12 Menurut pandangan ini,
percobaan
bukan memperluas rumusan-rumusan delik dan tidak
dipandang
sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri tetapi
dipandang
sebagai bentuk delik yang tidak sempurna. Para
pakar
yang termasuk ke dalam pandangan ini antara lain adalah
Hazewinkel
Suringa dan Oemar Seno Adji.
2.
Percobaan melakukan suatu tindak pidana dipandang
merupakan
satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan
bukanlah
bentuk delik yang tidak sempurna, tetapi merupakan
delik
sempurna hanya dalam bentuk khusus/istimewa. Jadi
merupakan
delik tersendiri. Para pakar yang termasuk ke dalam
pandangan
ini diantaranya adalah Pompe dan Moeljatno.
12Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II,
(Surakarta: Program Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum
UniversitasMuhammadiyah,1987),hal.16.
Bab
I. Percobaan (Poging)
6
Alasan
Moeljatno memasukkan percobaan sebagai delik
tersendiri
antara lain adalah:13
a.
Tidak mungkin ada pertanggungjawaban, kalau
seseorang
itu tidak melakukan suatu delik;
b.
Perbuatan percobaan dalam KUHP beberapa kali
dirumuskan
sebagai delik selesai dan berdiri sendiri,
contohnya
adalah delik makar. Misalnya Pasal 104,
106,
107 KUHP;
c.
Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai
bentuk
delik yang tidak sempurna, yang ada hanya delik
selesai.
Contoh putusan Pengadilan Adat di Palembang
dimana
seorang laki-laki telah mengaku menangkap/
mendekap
badan seorang gadis dengan maksud
mencoba
bersetubuh. Laki-laki itu tidak dipidana karena
melakukan
percobaan persetubuhan dengan paksa,
tetapi
dipidana karena menangkap/mendekap badan si
gadis.
B. Niat/Kehendak (Voornemen)
Menurut
Moeljatno dalam Adami Chazawi, niat jika dipandang
dari
sudut bahasa adalah sikap batin seseorang yang memberi arah
kepada
apa yang akan diperbuatnya.14
Menurut
Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama
dengan
kehendak atau maksud. Hazewinkel-Suringa mengemukakan
bahwa
niat adalah kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu
perbuatan
tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu
selalu
mengandung suatu yang dikehendaki mungkin pula mengandung
bayangan-bayangan
tentang cara mewujudkannya yaitu akibat-akibat
tambahan
yang tidak dikehendaki, tetapi dapat direka-reka akan timbul.
Maka
jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi kesengajaan sebagai
maksud,
tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam corak lain
(sengaja
sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai
keinsyafan
kemungkinan).15
13Moeljatno, Hukum Pidana DelikDelik
Percobaan Dan DelikDelik
Penyertaan,(Jakarta:BinaAksara,1985),hal.1112.
14Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan &
Penyertaan,(Jakarta:RajaGrafindo,2002),hal.14.
15Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy
Syaamil,2000),hal.153.
Percobaan
dan Penyertaan
7
Para
pakar hukum pada umumnya berpendapat bahwa niat
diartikan
sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Masalahnya apakah
kesengajaan
ini diartikan secara luas atau sempit. Dalam arti sempit
opzet adalah
kesengajaan sebagai maksud, sedangkan dalam arti luas
opzet adalah
semua bentuk kesengajaan yaitu kesengajaan sebagai
maksud,
kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf
kemungkinan.
Pada
umumnya para pakar menganut pendapat bahwa yang
dimaksud
dengan niat dalam percobaan (poging) adalah kesengajaan
dalam
arti luas, pendapat ini demikian dianut antara lain oleh
Hazewinkel-Suringa,
van Hamel, van Hattum, Jonkers, dan van
Bemmelen.
Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan
bahwa
jika niat disamakan dengan kesengajaan, maka niat tersebut
hanya
merupakan kesengajaan sebagai maksud saja.16
Moeljatno
memberikan pendapat hubungan niat dan
kesengajaan
adalah sebagai berikut:
a.
Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara
potensial
bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah
diwujudkan
menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua
perbuatan
yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,
tetapi
akibat yang dilarang tidak timbul, di sinilah niat
sepenuhnya
menjadi kesengajaan. Sama halnya dalam delik
yang
telah selesai;
b.
Tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi
kejahatan,
maka niat masih ada dan merupakan sifat batin
yang
memberi arah kepada perbuatan, yaitu “subjektif
onrechts-element”;
c.
Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan,
maka
isi niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila
kejahatan
timbul. Untuk itu perlu ada pembuktian tersendiri
bahwa
isi yang tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum
diwujudkan
menjadi perbuatan.17
Dalam
praktik hukum berdasarkan kepada berbagai
yurisprudensi,
niat dalam hal percobaan ini menganut pandangan yang
sama
dengan para pakar hukum pada umumnya yaitu kesengajaan
dengan
semua bentuknya.
Jika
mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada
waktu
suatu undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan
(MvT)
WvS Belanda 1886 yang merupakan sumber dari KUHP
Indonesia
yang berlaku saat ini, disebutkan bahwa sengaja (opzet)
16LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.16.
17Moeljatno,Op.Cit.,hal.2122.
Bab
I. Percobaan (Poging)
8
berarti:
‘de (bewuste) richting van den will op een
bepaald wisdrijf
(kehendak
yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan
tertentu).
Menurut penjelasan tersebut “sengaja” (opzet) sama dengan
willens en wetens (dikehendaki
dan diketahui).18
Sikap
batin (niat) seorang pelaku percobaan kejahatan (poging)
pada
dasarnya diarahkan untuk melakukan kejahatan (tindak pidana)
yang
sempurna, bahwa kemudian setelah sikap batin itu diwujudkan
dalam
suatu pelaksanaan, ternyata apa yang telah diniatkan (perbuatan
yang
dituju) itu tidak terjadi hal ini adalah persoalan lain, bukan lagi
masuk
kepada hal mengenai sikap batin tetapi adalah persoalan apa
sebab
sikap batin (niat) semula itu tidak tercapai.19
Sebagai
contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan
pembunuhan
dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada
seseorang.
Dalam hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa
kemungkinan
sekali seluruh penghuni rumah orang yang dikirim roti
tersebut
ikut menjadi korban. Kemungkinan orang lain ikut menjadi
korban
termasuk pula apa yang disebut sebagai niat (kehendak) pada
syarat
percobaan, ini mirip dengan arrest “Kue Tart dari Kota
Hoornse.20
Hal
di atas sesuai pula dengan putusan Hoge
Raad tanggal 6
Februari
1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan
automobilist-arrest yang pada tingkat kasasi telah menyatakan seorang
pengemudi
mobil terbukti bersalah telah melakukan suatu percobaan
pembunuhan
terhadap seorang anggota polisi, yang kasus posisinya
adalah
sebagai berikut: 21
Seorang
anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah
memerintahkan
pengemudi mobil tersebut untuk berhenti. Namun
pengemudi
itu ternyata tidak mentaati perintah yang diberikan oleh
anggota
polisi tersebut, bahkan dengan kecepatan yang tinggi
mengarahkan
mobil yang dikendarainya langsung ke arah anggota
polisi
tersebut, dan hanya karena anggota polisi tersebut pada saat
yang
tepat sempat menyelamatkan dirinya dengan melompat ke
pinggir,
maka terhindarlah ia dari kematian.
Menurut
Hazewinkel-Suringa dalam Loebby Loqman, Hoge
Raad mempersalahkan
pengemudi dengan percobaan pembunuhan,
meskipun
secara sepintas mungkin tidak ada rencana untuk membunuh
anggota
polisi itu. Tetapi kemungkinan yang diinsyafi (disadari) dapat
18AndiHamzah,AsasAsasHukumPidana,(Jakarta:RinekaCipta,
1991),hal.84.
19AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.15.
20 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.16.
21P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.519.
Percobaan
dan Penyertaan
9
diterima
juga sebagai niat. Dalam hal ini niat terwujud dalam sengaja
bersyarat
(dolus eventualis) atau disebut juga dengan sengaja berinsyaf
kemungkinan
(opzet bij mogelijkheid
bewustzinjn).22
Selain
itu ada arrest Hoge Raad lain yang secara jelas juga
menganut
paham niat dalam arti luas yaitu arrest
HR tanggal 26 Maret
1946,
yang kasusnya sebagai berikut:23
Seorang
penumpang kereta api yang membawa barang-barang
selundupan,
ketika kereta api sedang bergerak cepat dan barangbarangnya
akan
diperiksa ia menendang kondektur yang akan
memeriksanya
itu keluar pintu kereta api, tetapi kondektur itu tidak
terjatuh
melainkan bergantung dengan berpegang kuat pada pintu kereta
api.
Oleh Hoge Raad orang itu dipidana karena bersalah telah
melakukan
tindak pidana percobaan pembunuhan. Pada kasus ini
kesengajaan
orang tersebut menendang kondektur adalah agar dia
terhindar
dari pemeriksaan barang-barang selundupan yang dibawanya,
bukan
dengan maksud untuk membunuhnya. Tetapi orang itu seharusnya
memiliki
keinsyafan bahwa dengan perbuatannya menendang kondektur
itu
memungkinkan ia terjatuh dari kereta api dan berakibat kematiannya.
C. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)
1. Permulaan pelaksanaan
Niat
merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu
perbuatan,
dan ia berada di alam batiniah seseorang. Sangat sulit bagi
seseorang
untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang
lain.
Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya
kepada
orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan
(perbuatan)
yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut
Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil
apabila
seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu
kejahatan.
Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk
melakukan
kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.24
Syarat
(unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat
dihukum
karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53
KUHP
adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu
permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering).
22LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.17.
23AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.14.
24LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.18.
Bab
I. Percobaan (Poging)
10
Permulaan
pelaksanaan sangat penting diketahui untuk
menentukan
apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan
atau
belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan
perbuatan
yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian
perbuatan.
Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara
perbuatan
persiapan dengan permulaan pelaksanaan (R. Soesilo
mempergunakan
istilah permulaan perbuatan).
Dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan
tentang
apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan
(begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan
harus
diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah
“permulaan
pelaksanaan dari kejahatan”.
Menurut
Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT
maupun
pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal
ini
adalah merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan.25
Dalam
Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal
53
ayat (1) KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara
lain:26
a.
Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan
percobaan
yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang
disebut
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan)
dengan
apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakantindakan
pelaksanaan);
b.
Yang dimaksud dengan uitvoeringshandelingen itu adalah
tindakan-tindakan
yang mempunyai hubungan sedemikian
langsung
dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan
telah
dimulai dengan pelaksanaannya;
c.
Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih
lanjut
tentang batas-batas antara uitvoeringshandelingen
seperti
dimaksud
di atas.
Berdasarkan
Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan
Pasal
53 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan
yang
belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum
itu
adalah terletak diantara voorbereidingshandelingen
(tindakan-tindakan
persiapan)
dengan uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan).
MvT
hanya memberikan pengertian uitvoeringshandelingen
(tindakantindakan
pelaksanaan)
yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai
hubungan
sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk
dilakukan
dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian
25Moeljatno,Op.Cit.,hal.21.
26P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.528.
Percobaan
dan Penyertaan
11
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak
diberikan.
Menurut
MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan
dengan
permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (undangundang).
Persoalan
tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu
pengetahuan
untuk melaksanakan asas yang ditetapkan dalam undangundang.
27
KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu
merupakan
perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah
merupakan
permulaan pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik
percobaan.
Hal
senada juga dikemukakan oleh van Hattum dalam Lamintang,
menurutnya
sangat sulit untuk dapat memastikan batas-batas antara
tindakan-tindakan
persiapan (perbuatan persiapan) dengan tindakantindakan
pelaksanaan,
sebab undang-undang sendiri tidak dapat
dijadikan
pedoman.28
Memang
sulit untuk menentukan perbuatan mana dari
serangkaian
perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan permulaan
pelaksanaan.
Berdasarkan MvT hanya dapat diketahui, permulaan
pelaksanaan
(begin van uitvoering) berada diantara tindakan-tindakan
persiapan
(voorbereidingshandelingen) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan
(uitvoeringshandelingen). Oleh karena itu untuk menentukan perbuatan
mana
dari serangkaian perbuatan yang merupakan permulaan
pelaksanaan
dapat didasarkan kepada dua teori yaitu teori subjektif
(subjectieve pogingstheori) dan teori objektif (objectieve
pogingstheori).
Para
penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si
pelaksana
sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan
suatu
percobaan, dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut
sebagai
paham subjektif, sebagai contoh: seseorang yang tidak biasa
berhubungan
dengan senjata tajam tiba-tiba pada suatu hari terlihat
sedang
mengasah sebuah pisau yang akan digunakannya untuk
membunuh
seseorang, dari wujud perbuatannya yang berupa mengasah
pisau
ini telah terlihat adanya niat untuk melaksanakan kejahatan yang
berhubungan
dengan pisau tersebut, walaupun hubungan antara
perbuatan
itu dengan akibat akhirnya masih terlalu jauh atau tindakan
mereka
itu tidak mendatangkan bahaya yang begitu besar untuk dapat
menimbulkan
suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Para
penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si
pelaku
sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga
disebut
sebagai paham objektif, contoh: seseorang yang mempunyai
dendam
dengan orang lain mengokang pistolnya dan mengarahkan pistol
27SudartodanWonosutanto,Op.Cit.,hal.17.
28P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,________hal.531.
Bab
I. Percobaan (Poging)
12
itu
ke kepala B. Menurut paham objektif perbuatan mengokang pistol
dianggap
merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan, sedangkan
menarik
pelatuk pistol merupakan perbuatan pelaksanaan kejahatan.
Menurut
para penganut paham objektif seseorang yang
melakukan
percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat
dihukum
karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan
hukum,
sedangkan menurut penganut paham subjektif seseorang yang
melakukan
percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu pantas
dihukum
karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak
bermoral,
yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya.29
Sejak
seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan
perbuatan
yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian
perbuatan.
Dalam hal ini Loebby Loqman memberikan contoh sebagai
berikut:30
A
mempunyai niat untuk membunuh B, untuk itu ada
serangkaian
perbuatan yang dilakukannya, yakni:
1.
A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol;
2.
A mengisi pistol dengan peluru;
3.
A membawa pistol tersebut menuju ke rumah B;
4.
A membidikkan pistol ke arah B;
5.
A menarik pelatuk pistol, akan tetapi tembakannya meleset
sehingga
B masih hidup.
Dari
seluruh rangkaian perbuatan tersebut, perbuatan manakah
yang
dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan.
Apakah
perbuatan A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol
sudah
dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? Apabila
melihat
niatnya, memang perbuatan A pergi ke rumah C untuk
meminjam
pistol adalah dalam kaitan pelaksanaan niatnya untuk
membunuh
B. Akan tetapi apakah A pergi ke rumah C sudah
dianggap
permulaan dari pelaksanaan pembunuhan?
Contoh
lain. P adalah seorang pegawai suatu kantor pos. P
berkehendak
untuk mencuri pos paket. Untuk itu sewaktu
teman-teman
sekerjanya pulang P menyelinap dan bersembunyi
di
kamar kecil. Akan tetapi ternyata kepala kantor P masih
belum
pulang dan tertangkaplah P. Dari kasus P tersebut,
apakah
masuknya P ke kamar kecil sudah dianggap sebagai
permulaan
pelaksanaan?
29P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.531532.
30LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.1819.
Percobaan
dan Penyertaan
13
2. Teori subjektif
Teori
ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana yang
disebutkan
dalam Pasal 53 KUHP bahwa “...apabila niat itu telah
terwujud
dari adanya permulaan pelaksanaan”. Jadi dikatakan sebagai
permulaan
pelaksanaan adalah semua perbuatan yang merupakan
perwujudan
dari niat pelaku. Apabila suatu perbuatan sudah merupakan
permulaan
dari niatnya, maka perbuatan tersebut sudah dianggap
sebagai
permulaan pelaksanaan. Pada contoh pertama, A pergi ke rumah
C
untuk meminjam pistol, sudah merupakan permulaan dari niatnya
yakni
ingin membunuh B. Sehingga A pergi ke rumah C untuk
meminjam
pistol sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan
melakukan
percobaan membunuh B. Demikian juga dalam contoh
kedua.
P masuk ke kamar kecil sudah dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan
melakukan percobaan pencurian. Karena dengan masuknya
P
ke kamar kecil sudah merupakan permulaan pelaksanaan niatnya.31
Menurut
teori subjektif dasar patut dipidananya percobaan
(strafbare poging)
itu terletak pada watak yang berbahaya dari si
pembuat.
Jadi unsur sikap batin itulah yang merupakan pegangan bagi
teori
ini.32 Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan
pelaksanaan
dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari
niat
dan karena itu bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari
pembuat
dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang
menunjukkan
bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya.33
Menurut
van Hamel dalam P.A.F. Lamintang tidak tepat
pemikiran
mereka yang mensyaratkan adanya suatu rectstreeks
verband
atau
suatu hubungan yang langsung antara tindakan dengan akibat,
dimana
orang menganggap yang dapat dihukum itu hanyalah tindakantindakan
yang
menurut sifatnya secara langsung dapat menimbulkan
akibat.34
Menurut
van Hamel aliran subjektiflah yang benar. Bukan saja
karena
aliran ini sesuai dengan nieuwere
strafrechtsleer (ajaran hukum
pidana
yang lebih baru) yang bertujuan untuk memberantas kejahatan
sampai
kepada akarnya, yaitu manusia yang berwatak jahat
(demisdadige mens)
akan tetapi juga karena dalam mengenakan pidana
menurut
rumus umum (algemene formule) sebagaimana halnya dalam
percobaan,
unsur kesengajaan (niat) itulah unsur satu-satunya yang
memberi
pegangan kepada kita. Oleh karena kesengajaan (niat) dalam
31LoebbyLoqman,Op.Cit.,19.
32SudartodanWonosutanto,Op.Cit.,hal.17.
33D. Schaffmeister, (et.al.), Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty,
1995),hal.215.
34P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.534.
Bab
I. Percobaan (Poging)
14
perbuatan
percobaan adalah lebih jauh arahnya dari pada bahaya yang
ditimbulkan
pada suatu ketika tetapi kemudian menjadi hilang. Dan juga
justru
dengan adanya kesengajaan (niat) itu perbuatan terdakwa lalu
menjadi
berbahaya, padahal kalau perbuatan dipandang tersendiri dan
terlepas
dari hal ikhwal yang mungkin akan timbul sama sekali tidak
berbahaya.
Apabila dengan kesengajaan untuk membunuh orang
mengarahkan
senapan kepada sasaran, padahal pelatuk senapan tidak
terpasang,
maka perbuatan tersebut hanya bersifat berbahaya karena
perbuatan
dilakukan oleh orang yang mempunyai kesengajaan (niat)
tadi.
Maka menurut van Hamel jika ditinjau dari sudut niat si pembuat,
dikatakan
ada perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari apa yang telah
dilakukan
sudah ternyata kepastiannya niat untuk melakukan kejahatan
tadi.35
Jan
Remmelink36 menyebutkan bahwa, ajaran subjektif
menyatakan
bahwa syarat untuk menjatuhkan pidana adalah ukuran atau
penilaian
apakah dalam tindakan pelaksanaan pelaku telah
memanifestasikan
niatnya yang berbahaya, yakni ia siap menuntaskan
tindakannya
tersebut. Contoh klasik adalah konflik mendalam antara
Jansen
dan Pietersen, sebagai berikut: Jansen berniat membunuh
Pietersen.
Ia membeli pistol, mengisinya, dan pada larut malam
menungu
di tempat gelap sampai Pietersen lewat. Tetapi malam itu
Pietersen
sakit gigi dan tidak keluar untuk berjalan-jalan, sehingga
pembunuhan
yang sudah direncanakan tidak terjadi. Dalam ajaran
subjektif,
kenyataan bahwa pelaku yang mencoba benar-benar atau
secara
nyata dapat menuntaskan tindakannya tidaklah bersifat
menentukan.
Yang penting adalah anggapan pelaku bahwa ia telah
melakukan
tindakan permulaan untuk mewujudkan niatnya tersebut.
Yang
relevan adalah adagium voluntas
reputabatur pro facto (the intent
is equivalent to the fact).
Untuk
melihat dimana letak batas antara perbuatan persiapan
dengan
perbuatan permulaan pelaksanaan menurut teori subjektif
diberikan
contoh:37
A
hendak membunuh B musuhnya. Untuk hal ini, A melakukan
rangkaian
perbuatan sebagai berikut:
a.
Suatu hari ia pergi naik taksi menuju pasar;
b.
Masuk ke sebuah toko;
c.
Di toko itu dia membeli sebuah pedang;
d.
Dia kembali ke rumah;
e.
Dilihatnya pedang itu tumpul lalu ia mengasah pedang tersebut;
35Moeljatno,Op.Cit.,hal.22.
36JanRemmelink,Op.Cit.,hal.290291.
37AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.2122.
Percobaan
dan Penyertaan
15
f.
Kemudian disimpannya di dalam lemari;
g.
Pada malam harinya dengan membawa pedang itu dia berjalan
menuju
rumah calon korban (B);
h.
Selanjutnya A mengetuk pintu, dan pintu dibuka oleh isteri B, A
dipersilahkan
masuk dan duduk di salah satu kursi;
i.
Ketika B masuk ruang tamu dan duduk di kursi, A mencabut
pedang
dari balik bajunya;
j.
A mengayunkan pedang ke arah leher B namun hanya mengenai
bahu
B dan tidak menyebabkan kematian B, lalu isteri B
berteriak
meminta pertolongan sehingga A melarikan diri.
Dari
rangkaian peristiwa di atas menurut paham subjektif
perbuatan
membawa pedang yang telah diasah tajam dapat dinilai telah
menunjukkan
adanya niat untuk melakukan pembunuhan pada B, sebab
pada
tahap perbuatan itu telah tampak kehendak (niat) untuk
membunuh.
Maka dari fakta itu tidak diragukan lagi bahwa perbuatan
A menuju ke rumah B adalah merupakan permulaan
pelaksanaan
dari
kejahatan, sedangkan rangkaian tingkah laku sebelumnya yaitu
perbuatan
dari urutan A sampai dengan F adalah merupakan perbuatan
persiapan.
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
subjektif
dapat dipidananya percobaan, karena niat seseorang untuk
melakukan
kejahatan itu dianggap sudah membahayakan kepentingan
hukum.
Sehingga niat untuk melakukan kejahatan yang telah
diwujudkan
menjadi suatu perbuatan dianggap telah membahayakan.
3. Teori objektif
Teori
ini disebut dengan teori objektif karena mencari sandaran
pada
objek dari tindak pidana, yaitu perbuatan. Menurut teori ini
seseorang
yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena
tindakannya
bersifat membahayakan kepentingan hukum.
Ajaran
yang objektif menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan
dalam
Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari
kejahatan
dan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi
tertib
hukum, dan menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai tiap
perbuatan
yang membahayakan kepentingan hukum.38 Jika mengacu
kepada
contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di atas, dari
contoh
pertama peristiwa yang menjadi tujuan A adalah membunuh B.
A
pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah permulaan
pelaksanaan
agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling
mungkin
dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam teori objektif
38D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.216.
Bab
I. Percobaan (Poging)
16
dalam
kasus ini adalah pada saat A menarik pelatuk pistol untuk
membunuh
B. Demikian pula pada kasus P. P menyelinap ke kamar
kecil
bukanlah permulaan pelaksanaan terhadap perbuatan yang
diniatkan.
Perbuatan yang diniatkan adalah mencuri. Unsur utama dari
mencuri
adalah mengambil, yaitu apabila seseorang telah menjulurkan
tangannya
untuk mengangkat/memindahkan suatu barang. Oleh karena
itu
menurut teori objektif P dianggap belum melakukan perbuatan yang
dianggap
sebagai permulaan pelaksanaan.39
Menurut
Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif
itu
adalah tidak tepat, dengan alasan bahwa paham tersebut telah
mengabaikan
syarat tentang harus adanya suatu permulaan pelaksanaan
untuk
melakukan kejahatan dan telah membuat segala sesuatunya
menjadi
tergantung pandangan yang bersifat subjektif hakim.40
Pendapat
Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin
van uitvoering)
ini dapat dilihat di arrest tanggal 7 Mei 1906, W. 8372,
yang
menyatakan bahwa perkataan “begin van
uitvoering” di dalam
Pasal
53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan
uitvoering van hetmisdrijf (pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri),
sehingga
perkataan “permulaan pelaksanaan” itu terutama harus
diartikan
sebagai “permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk
melakukan
kejahatan”.41 Perkataan “permulaan pelaksanaan” itu bukan
berarti
hanya ditujukan kepada “pelaksanaan dari maksud jahat si
pelaku”.
Perkataan tersebut terutama harus dihubungkan dengan
“pelaksanaan
dari kejahatan” itu. Perbedaan antara “permulaan
pelaksanaan
dari maksud si pelaku” dengan “permulaan pelaksanaan
dari
kejahatannya itu sendiri” sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang
terlalu
jauh (besar), karena “permulaan pelaksanaan dari maksud untuk
melakukan
kejahatan” itu kadang-kadang jatuh pada waktu yang
bersamaan
dengan “permulaan pelaksanaan dari kejahatannya itu
sendiri”42
Jan
Remmelink43 menyebutkan, bahwa Hoge
Raad memilih
berpihak
kepada objektif. Istilah “van
uitvoering” di dalam Pasal 53
KUHP
ditafsirkan dalam kaitan dengan kejahatan itu sendiri, dan bukan
seperti
kerap dikesankan pada niat pelaku. Menurut Yurisprudensi HR,
pada
dasarnya “van uitvoering” dapat dirangkum dalam satu rumusan:
39LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.2021.
40P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.534.
41Ibid.,hal.538.
42P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum
Pidana
Indonesia,(Bandung:SinarBaru,1983),hal.36.
43 JanRemmelink,Op.Cit.,hal.291292.
Percobaan
dan Penyertaan
17
tindakan
tersebut harus terwujud sedemikian rupa sehingga penuntasan
tindakan
itu merupakan suatu kemungkinan konkret.
Sebagian
besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan
percobaan
yang dapat dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal
53 KUHP itu sangat dipengaruhi oleh pendapat Simons. Ajaranajaran
Simons
mengenai percobaan yang dapat dihukum yang
mempunyai
pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat)
para
anggota Hoge Raad antara lain:44
a.
Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh
undang-undang
telah dirumuskan secara formil, suatu
permulaan
pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan
dianggap
telah terjadi yaitu segera setelah kejahatan tersebut
mulai
dilakukan oleh pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh
Hoge Raad dalam
arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920
halaman
458, W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan
menawarkan
untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang
kertas
yang telah dipalsukan di depan orang lain dengan maksud
untuk
melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest
ini
merupakan
suatu permulaan dari tindakan pemalsuan yang
dapat
dihukum;
b.
Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh
undang-undang
telah dirumuskan secara materil, suatu percobaan
yang
dapat dihukum dianggap telah terjadi yaitu segera setelah
tindakan
yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya
langsung
dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh
undang-undang,
tanpa pelakunya tersebut harus melakukan
suatu
tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge
Raad yaitu
antara lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19
Maret
1934, N.J. 1934 halaman 450, W. 12731, yang dikenal
dengan
Eindhovense
Brandstichting-arrest atau arrest
pembakaran
rumah di kota Endhoven;
c.
Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh
undang-undang
telah ditentukan bahwa untuk melakukan delikdelik
tersebut
harus dipergunakan alat atau cara-cara tertentu,
ataupun
dimana penggunaan alat atau cara-cara semacam itu
oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai unsur yang
memberatkan
hukuman, maka suatu percobaan yang dapat
dihukum
untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah
terjadi,
yaitu segera setelah pelakunya menggunakan alat atau
cara
yang bersangkutan untuk melakukan kejahatannya. Ajaran
ini
telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang dapat
44 Ibid.,hal.539542.
Bab
I. Percobaan (Poging)
18
kita
lihat antara lain di dalam arrest-arrest-nya masing-masing:
tanggal
12 Januari 1891, W. 5990, tanggal 4 April 1932, N.J.
1932
halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 1941
No.
883 yang pada dasarnya mengatakan bahwa: pembongkaran,
perusakan,
atau pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan
pemanjatan
itu merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan
pencurian
dengan pemberatan.
Dan
di dalam arrest-arrest-nya masing-masing tanggal 20
Januari
1919, N.J. 1919 halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19
Mei
1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 10424 yang pada
dasarnya
menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu
merupakan
suatu kejahatan. Dengan merusak penutup sebuah
rumah,
dimulailah sudah pelaksanaan pencurian tersebut. Dalam
hal
ini telah terjadi suatu percobaan untuk melakukan suatu
pencurian
dengan perusakan.
Loebby
Loqman dalam bukunya Percobaan, Penyertaan dan
Gabungan
Tindak Pidana memberikan beberapa contoh kasus tentang
penentuan
permulaan pelaksanaan menurut perspektif teori objektif:
1.
Eindhovense Brandstichting
arrest, kasus posisinya adalah
sebagai
berikut: 45
A
dan B bersepakat dengan C untuk membakar rumah C guna
mendapatkan
santunan asuransi. Sementara C bepergian ke
luar
kota, A dan B membuat sumbu panjang dari kain-kain
bekas
yang telah disiram bensin dan menaruhnya di seluruh
rumah.
Sumbu tersebut dihubungkan dengan pemantik kompor gas
yang
disambung dengan tali sedemikian rupa, sehingga nantinya
hanya
dengan menarik tali dari luar rumah, akan terjadi api yang
akan
membakar sumbu yang telah dipersiapkan. Sementara
menunggu
malam hari untuk melaksanakannya, A dan B
meninggalkan
rumah tersebut.
Sementara
A dan B meninggalkan rumah itu, para tetangga yang
melewati
rumah tersebut mencium bau bensin yang menusuk hidung,
sehingga
mereka curiga dan memberitahukan kepada polisi. Pada
saat
A dan B datang untuk melaksanakan pembakaran,
dilihatnya
telah banyak orang sehingga mereka melarikan
diri.
Namun akhirnya perkara tersebut sampai ke pengadilan
dengan
tuduhan mencoba melakukan pembakaran.
Jika
diperinci, maka perbuatan-perbuatan terdakwa dapat
diperinci
menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah perbuatan
membuat
rumah siap bakar, sedangkan tahap berikutnya
45LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.2527.
Percobaan
dan Penyertaan
19
menarik
tali pemantik kompor gas untuk pembakaran rumah
tersebut.
Persoalan dalam kasus ini adalah apakah telah ada
perbuatan
yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan,
ataukah
baru merupakan persiapan pelaksanaan untuk melakukan
pembakaran
rumah.
Ternyata
Hoge Raad tidak memasukkan kasus ini sebagai
percobaan
melakukan pembakaran. Jadi bukan merupakan
percobaan.
MvT menyerahkan penentuan perbuatan yang
merupakan
permulaan pelaksanaan kepada praktik, sehingga
dalam
hal ini Hoge Raad dimungkinkan untuk mencari
pertimbangan
dalam tiap kasus tentang apa yang dimaksud
dengan
permulaan pelaksanaan dalam suatu percobaan.
Adapun
pertimbangan Hoge Raad bahwa kasus tersebut
dianggap
bukan sebagai permulaan pelaksanaan adalah:
(1)
Perbuatan yang telah dilakukan A dan B bukan hanya
merupakan
kemungkinan untuk pembakaran rumah tersebut,
ada
kemungkinan untuk perbuatan-perbuatan lain kecuali
pembakaran
rumah;
(2)
Perbuatan A dan B lebih bersifat sebagai perbuatan
persiapan
pelaksanaan, dan bukan permulaan pelaksanaan
seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP;
(3)
Perbuatan yang dimaksud sebagai permulaan pelaksanaan
seharusnya
merupakan suatu perbuatan yang tidak
diperlukan
lagi adanya suatu tindakan lanjutan dari
pelakunya.
Tindakan menarik tali sam-bungan dari
pemantik
kompor gas, dianggap merupakan tindak lanjut
dari
pelaku, yang semestinya tindakan menarik tali
tersebut
tidak perlu ada dalam perbuatan permulaan
pelaksanaan
(dalam hal ini permulaan pelaksanaan
dianggap
ada jika A atau B menarik tali tersebut);
(4)
Mungkin saja dalam kasus ini terjadi hal-hal yang tidak
terduga
sehingga pembakaran tidak akan terjadi,
umpamanya:
-
Pemantik kompor gas menjadi macet;
-
Sumbu yang diberi bensin tidak mau menyala;
-
Api tidak merambat, meskipun sebagian sumbu telah
menyala;
-
Ada yang menepiskan tangan sewaktu tangan itu sedang
akan
menarik tali.
Apabila
diperhatikan ternyata dalam kasus di atas Hoge
Raad
lebih
menggunakan teori objektif, dengan menyebutkan alasan
yang
pertama (1) di atas. Di samping itu juga menyebutkan
Bab
I. Percobaan (Poging)
20
bahwa
apa yang dilakukan A dan B merupakan persiapan
pelaksanaan
(2) seperti yang dianut dalam teori objektif. Alasan
(3)
dan (4) Hoge Raad malah memberikan contoh-contoh
tentang
kapan suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan.
2.
Hammer Arrest (Kasus Palu) yaitu putusan Hoge
Raad tanggal
21
Mei 1951, N.J. 1951, 480 yang kasus posisinya sebagai
berikut:46
A
seorang pria yang menjalin hubungan asmara dengan B
seorang
wanita yang telah bersuami, yakni C. A dan B
bersepakat
untuk membunuh C dengan jalan akan memukul C
pada
waktu C tidur, dan setelah C pingsan akan
menempatkannya
di dapur dan akan dibuka saluran gas di
dapur,
sehingga C akan meninggal karena keracunan gas. Pada
suatu
malam yang telah ditentukan, B memberikan kunci rumah
kepada
A sehingga A dapat masuk ke rumah B dan selanjutnya
masuk
ke kamar tidur, A menghempaskan palu ke arah kepala
namun
tidak mengenai kepala C, karena kebetulan C menggeser
badannya/kepalanya
pada saat yang tepat. C terbangun dan
melakukan
perlawanan. A memukul C beberapa kali dan
melarikan
diri dari rumah tersebut.
Dalam
tingkat kasasi terdakwa mengutarakan bahwa,
pertimbangan
Pengadilan Tinggi yang menyatakan perbuatan A
dianggap
sebagai permulaan pelaksanaan dalam suatu niat untuk
pembunuhan
adalah tidak tepat. Karena dianggap rencana
pembunuhannya
adalah dengan cara menempatkan korban di
dapur
dan saluran gas akan dibuka agar korban meninggal
karena
keracunan, bukan dengan memukul palu.
Dalam
perkara tersebut Hoge Raad ternyata memutuskan bahwa
apa
yang dilakukan terdakwa telah dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan.
Apabila seseorang dengan pertimbangan yang
masak
dan dengan tenang sebelumnya untuk melakukan
pembunuhan,
apalagi sebelumnya telah dipersiapkan pemukul
dan
masuk ke rumah korban dengan kunci yang telah
dipersiapkan
sebelumnya, lalu masuk ke kamar tidur, hal itu
sudah
merupakan perwujudan dari pembunuhan yang diniati.
Telah
direncanakan sebelumnya ada dua tahap dalam
melaksanakan
pembunuhan. Yang pertama adalah memukul
korban
hingga pingsan, tahap kedua adalah menempatkan
46Ibid.,hal.2729.
Percobaan
dan Penyertaan
21
korban
di dapur, membuka selang gas, sehingga korban akan
meninggal
karena keracunan gas. Dengan demikian tahap
pertama
sudah dianggap sebagai perbuatan permulaan
pelaksanaan
dari perbuatan yang diniati.
Apabila
dibandingkan antara putusan perkara Eindhovense
Brandstichting dan
Kasus Palu, terhadap kedua-duanya dipakai teori
objektif.
Namun dalam perkara Eindhovense Brandstichting perbuatan
tahap
pertama yaitu perbuatan rumah siap dibakar dianggap belum
merupakan
perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan.
Sedangkan
dalam kasus Palu perbuatan tahap pertama yaitu pemukulan
dengan
palu agar korban jatuh pingsan, dianggap telah merupakan
perwujudan
dari perbuatan yang diniatinya.
Dengan
demikian Hoge Raad dalam kedua putusannya itu
telah
memakai teori objektif, meskipun dengan menggunakan
rumusan
yang disesuaikan dengan keadaan yang konkrit. Jika
dibandingan
kasus Eindhovense Brandstichting dan kasus palu ini
digambarkan
dalam suatu bagan pertahapan akan terlihat seperti
berikut
ini:47
Putusan Tahap I Tahap II
Pembakaran
1934 Membuat rumah siap bakar
(belum)
Menarik
tali
Kasus
Palu 1951 Memukul pingsan
dengan
martil
Meracuni
di dapur
Keterangan:
Hoge Raad memutuskan:
-
dalam tahun 1934: tahap I belum permulaan pelaksanaan
-
dalam tahun 1951: tahap I sudah permulaan pelaksanaan.
Khusus
terhadap arrest Hoge Raad dalam Eindhovense
Brandstichting,
mendapat tantangan dari beberapa penulis. Menurut van
Bemmelen
berdasarkan putusan Hoge Raad terhadap kasus Eindhovense
Brandstichting itu,
tidak dapat diragukan lagi bahwa objectieve
pogingsleer (paham
objektif dan paham subjektif) telah dilaksanakan
secara
menyimpang sehingga keluar dari batas-batas semestinya.
Walaupun
cara memandang suatu masalah oleh kedua paham (paham
objektif
dan paham subjektif) itu berbeda, tetapi dalam memecahkan
masalah
apakah seseorang dapat dihukum atau tidak seharusnya
jawabannya
mengarah kepada hasil yang sama.48
47D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.221.
48P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.543.
Bab
I. Percobaan (Poging)
22
Dalam
perkembangan selanjutnya Hoge Raad
telah memperlunak
syarat
zonder enig nader ingrijpen van
de dader (tanpa suatu tindakan
yang
lain dari si pelaku), dalam peristiwa-peristiwa pembakaran seperti
yang
dimaksud di atas, yaitu dengan mempertimbangkan bahwa
perbuatan
mencoba menarik ujung tali semacam itu dapat dianggap
sebagai
suatu begin van
uitvoerings-handelingen (permulaan
pelaksanaan)
yang
telah dapat dihukum.49
Loebby
Loqman dalam hal ini juga menyatakan bahwa dalam
perkembangan
yang terjadi di Belanda, ternyata didapati teori objektif
yang
diperlunak (gematigd objectieveleer), yakni dalam kasus Cito,
yang
kasus posisinya adalah sebagai berikut:50
Dua
orang bertopeng dan bersenjata dengan membawa tas
menuju
ke Biro Penyiaran Cito dengan maksud melakukan
perampokan.
Mereka membunyikan bel akan tetapi pintu tidak
dibuka.
Pada saat itu mereka ditangkap. Dalam putusan Hoge
Raad
bulan
Oktober 1978, N.J., 1979-52 memberikan pertimbangan bahwa
perbuatan
tersebut merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan.
Karena
menurut bentuk perwujudannya harus dipandang sebagai
diarahkan
untuk menyelesaikan kejahatan pencurian dengan
kekerasan.
Jadi dalam hal ini telah terjadi percobaan yang dapat
dipidana
yaitu kejahatan dari Pasal 365 KUHP, pencurian dengan
kekerasan.
Van
Veen dalam D. Schaffmeister, (et.al) memberikan catatan
tentang
putusan ini, bahwa pada delik yang dikualifikasikan lebih
banyak
terdapat permulaan pelaksanaan daripada delik pokoknya. Delik
yang
dikualifikasi didahului oleh bayangannya, dengan kata lain
bersenjata,
bertopeng, dan membunyikan bel adalah permulaan
pelaksanaan
dari suatu kejahatan pencurian dengan kekerasan, tetapi
jika
tidak bersenjata, tidak bertopeng dan membunyikan bel dianggap
bukan
sebagai permulaan pelaksanaan dari pencurian biasa. Menurut
bentuk
perwujudannya dari luar mengebel demikian belum tentu tertuju
pada
penyelesaian kejahatan.51
Jika
melihat contoh dari Adami Chazawi seperti telah
disebutkan
di atas, dalam pandangan obyektif, dalam hal menetapkan
wujud
perbuatan mana yang berupa permulaan pelaksanaan, dengan
melihat
dari proses atau tata urutan dalam melakukan kejahatan.
Berdasarkan
pada tata urutan ini, maka untuk menyelesaikan kejahatan,
ada
dua perbuatan berurutan yang harus dilakukan, yaitu permulaan
pelaksanaan
(begin van uitvoering) dan yang kedua perbuatan
49Ibid.,hal.544.
50LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.2930.
51D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.226.
Percobaan
dan Penyertaan
23
pelaksanaan
(uitvoeringshandelingen). Menurut pandangan obyektif ada
dua
perbuatan yang dipandang telah membahayakan kepentingan
hukum
atas nyawa korban, ialah perbuatan mencabut
pedang dari balik
bajunya,
dan kedua perbuatan mengayunkan pedang ke arah tubuh
korban.
Perbuatan mencabut pedang dari balik bajunya telah bisa
dianggap
merupakan permulaan pelaksanaan dari pembunuhan.
Sedangkan
perbuatan mengayunkan pedang ke arah tubuh korban,
adalah
perbuatan pelaksanaan. Ukuran perbuatan pelaksanaan ialah
berupa
perbuatan satu-satunya untuk menyelesaikan kejahatan itu, oleh
sebab
itu hubungannya sangat erat dan langsung dengan kejahatan.
Ukuran
ini sesuai dengan yang dianut dalam praktik hukum, baik di
Belanda
maupun di Hindia Belanda, yang untuk lebih jelasnya akan
dibicarakan
di belakang.52
Menurut
van Bemmelen dalam P.A.F. Lamintang, kedua
metode
baik metode objektif maupun metode subjektif, jika
diberlakukan
secara terlalu kaku akan menjurus kepada ketidakbenaran.
Karena
paham subjektif itu telah mengartikan hubungan kausal secara
terlalu
luas, sehingga seseorang telah dapat dihukum sebagai seorang
pelaku
atau dalam masalah poging sebagai orang yang telah melakukan
percobaan.
Padahal hubungan antara tindakan mereka dengan akibat
akhirnya
itu terlalu jauh atau tindakan mereka itu tidak mendatangkan
bahaya
yang begitu besar untuk dapat menimbulkan suatu akibat itu.
Sebaliknya
paham objektif murni tidak akan menghukum mereka yang
telah
menunjukkan adanya sifat berbahaya dan telah diwujudkan dengan
tindakan-tindakan
nyata. Dalam hal ini van Bemmelen memberikan
contoh
seperti kasus Eindhovense Brandstichting.53
Sebagai
contoh umpamanya A ingin membunuh B, ternyata A
dan
B ini berada di kota yang berbeda. Untuk melakukan pembunuhan
A
harus membeli karcis kereta api menuju ke kota dimana B bertempat
tinggal.
Dalam hal ini apakah perbuatan A membeli karcis kereta api
sudah
dianggap sebagai permulaan pelaksanaan? Perbuatan membeli
karcis
merupakan perbuatan yang masih jauh dari kejahatan yang
menjadi
niat A, yaitu membunuh B, tetapi jelas ada hubungannya
dengan
niat A tersebut.54
Oleh
karena itu menurut van Bemmelen dalam P.A.F.
Lamintang,
perlu adanya suatu tussenopvatting (paham antara) diantara
paham
subjektif dan paham objektif, yang memandang suatu
uitvoeringshandelingen (tindakan pelaksanaan) itu sebagai tindakan
yang
mendatangkan bahaya bagi kemungkinan timbulnya akibat yang
52AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.2324.
53P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.543.
54LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.22.
Bab
I. Percobaan (Poging)
24
tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Bahaya yang dimaksud itu
haruslah
dianggap telah ada yaitu jika pelakunya telah menciptakan
sejumlah
keadaan yang menurut pengalaman manusia, tanpa masih
diperlukan
lebih banyak hal yang lain, dapat menimbulkan keadaan
yang
lain lagi. Jika sejumlah keadaan telah tercipta, dimana keadaan
semacam
itu telah menimbulkan suatu bahaya bagi kemungkinan
timbulnya
keadaan yang lain, maka sebenarnya tindakan seorang pelaku
itu
telah mencapai suatu tingkat tertentu dimana tindakannya itu telah
dapat
disebut sebagai suatu uitvoeringshandelingen atau tindakan
pelaksanaan.55
4. Teori gabungan
Selain
teori sujektif dan teori objektif, dikenal juga teori
gabungan,
yang mencoba menggabungkan dua pandangan yang berbeda
itu.
Salah seorang ahli yang mempunyai pandangan seperti ini adalah Lange
Meyer.
Lange Meyer dalam Sudarto dan Wonosutanto56 menyebutkan bahwa,
patut
dipidananya perbuatan adalah bila memenuhi syarat yaitu sikap
batin
yang berbahaya dan sikap perbuatan yang berbahaya. Namun
karena
pelaksanaan dari pandangan Lange Meyer ini menemui
kesukaran
pada kenyataannya, maka tidak mengherankan apabila
pandangan
ini cenderung pada teori objektif semata-mata.
5. Permulaan pelaksanaan menurut Moeljatno57
Moeljatno
tidak setuju dengan pandangan teori subjektif yang
didukung
oleh van Hamel maupun teori objektif yang didukung oleh
Simons
tentang permulaan pelaksanaan.
Menurut
Moeljatno bahwa, sebelum dapat menentukan apakah
yang
dilakukan oleh terdakwa sudah merupakan permulaan pelaksanaan
atau
belum, tentunya harus ditetapkan lebih dulu, permulaan
pelaksanaan
dari kejahatan apa? Sebab adalah wajar, bahwa permulaan
pelaksanaan
dari pembunuhan misalnya, adalah lain sekali dengan
permulaan
pelaksanaan dari pencurian. Oleh karena itu, untuk
mengetahui
permulaan pelaksanaan dari kejahatan apa, perlu menarik
unsur
yang pertama, yaitu niat. Jadi lengkapnya adalah permulaan
pelaksanaan
dari kejahatan yang diniatkan atau yang dituju. Sebab isi
niat
ini harus ternyata dari perbuatan-perbuatan atau apa yang telah
dilakukan.
Sehingga isinya niat dan adanya permulaan pelaksanaan dari
55P.A.F.Lamintang,Op.Cit.543544.
56SudartodanWonoSutanto,Op.Cit.,hal.18.
57Moeljatno,Op.Cit.,hal.2829.
Percobaan
dan Penyertaan
25
kejahatan
yang dituju berhubungan erat sekali bahwa yang satu tak bisa
ditentukan
terlepas dari yang lain. Di situ ada hubungan timbal-balik.
Menurut
Moeljatno pada permulaan pelaksanaan dari delik yang
dituju,
juga perbuatannya (batas antara persiapan dan pelaksanaan)
harus
memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari
rumusan
percobaan, yang dapat dipidana menurut Pasal 53 KUHP,
sedangkan
syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik, yaitu
sebagai
berikut:
a.
Secara obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus
mendekatkan
kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain,
harus
mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
b.
Secara subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada
keraguan
lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu,
ditujukan
atau diarahkan pada delik yang tertentu tadi;
c.
Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan
perbuatan
yang bersifat melawan hukum.
Oleh
karena delik yang dituju tidak diketahui lebih dahulu
bahkan
harus ditetapkan antara lain dengan mengingat perbuatan yang
telah
dilakukan, maka istilah permulaan pelaksanaan dalam pasal 53
KUHP
tak mungkin mempunyai arti yang tetap. Karenanya juga tak
mungkin
dipakai pegangan untuk menentukan, apakah sudah ada
percobaan
yang dapat dipidana atau belum. Untuk ini (yaitu untuk
menentukan
delik yang dituju) diperlukan adanya bukti-bukti di luar
wet.
D. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Disebabkan Kehendak
Pelaku
Syarat
ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan
percobaan
menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan
semata-mata
disebabkan karena kehendak pelaku.
Dalam
hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang
yang
semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana
dan
niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan
permulaan
pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul
dari
dalam diri orang tersebut yang secara sukarela mengundurkan diri
dari
niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak
dilakukannya
itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri
orang
tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Bab
I. Percobaan (Poging)
26
E.Y.
Kanter dan S.R. Sianturi58 menyebutkan bahwa, yang tidak
selesai
itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan
ketentuan
dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsurunsur
dari
kejahatan menurut rumusannya. Dengan kata lain niat petindak
(pelaku)
untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan
tindakannya
terhenti sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat
juga
dikatakan bahwa tindakan untuk merugikan sesuatu kepentingan
hukum
yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana itu terhenti
sebelum
terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan undangundang.
Keadaan
di luar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap
keadaan
baik badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datangnya
dari
luar yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna
terselesaikan
kejahatan itu. Keadaan fisik dalam hal pembunuhan yang
hendak
dilakukan oleh A terhadap B misalnya:
- Pada saat A membidikkan pistolnya, tangan A dipukul oleh C;
- Teh beracun yang disediakan A ketika hendak diminum oleh B,
mendadak
diserbu oleh seekor kucing, sehingga tumpah;
- Tembakan yang mengenai B, hanya mengakibatkan luka ringan,
atau
B tidak apa-apa karena tembakannya meleset.59
Selanjutnya
disebutkan bahwa, keadaan-keadaan psikis
misalnya
pada saat ia hendak menembakkan pistolnya, ia merasa takut
karena
jangan-jangan di sekitarnya itu ada petugas hukum yang akan
memergoki
perbuatannya. Keadaan itu bukan hanya tindakan manusia
saja,
tetapi juga perbuatan makhluk lainnya, maupun karena peristiwa
alam.
Bahkan keadaan psikis yang datangnya dari luar, sehingga tidak
terselesaikan
hal itu berada di luar kehendak pelaku. Rasa takut sebagai
penyebab
tidak diselesaikannya tindakan itu dalam hukum pidana
dianggap
sebagai keadaan yang berada di luar kehendak petindak.
Tetapi
apakah rasa takut itu selalu dapat dianggap sebagai pemenuhan
syarat
ketiga dari percobaan yang dengan demikian dapat dipidana,
adalah
tergantung kepada sampai dimana rasa takut itu telah
mempengaruhi
pelaku, yang menyebabkan dia tidak meneruskan
tindakannya
itu. Kalau misalnya rasa takut itu telah mempengaruhi,
yang
karenanya ia mengurungkan niatnya dengan sukarela, maka
percobaan
tidak terjadi. Tegasnya tenggang waktu yang masih dapat
dibenarkan
untuk menyatakan rasa penyesalan dihubungkan dengan
58E.Y.KanterdanS.R.Sianturi,AsasAsasHukumPidanadiIndonesia
danPenerapannya,(Jakarta:AlumniAHMPTHM,1982),hal.324.
59Ibid.
Percobaan
dan Penyertaan
27
syarat
kedua dan ketiga, harus selalu menjadi perhatian dan menilainya
secara
kasuistis pada setiap kejadian.60
Penggunaan
istilah semata-mata, perlu diperhatikan pula. Hal
ini
berarti meskipun pengurungan niat atau tidak meneruskan
pelaksanaan
tindakan tersebut secara sukarela dan karena penyesalan,
tetapi
disertai dengan perasaan takut, maka dalam hal seperti ini pelaku
tetap
masih dapat dipidana karena percobaan.61
Dalam
hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang
benar
tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari
kehendak
pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan
dalam
pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang
menyebabkan
tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya
perbuatan
itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang
dengan
sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di
luar
dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau
perkiraannya
dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk
mengurungkan
niatnya itu. Berkaitan dengan hal ini Loebby Loqman
memberikan
contoh sebagai berikut:62
1.
Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952
No.
670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan
penganiayaan
berat.
A
pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A
dengan
menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki
ruangan
dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan
membungkuk
dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B
berada.
Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa
orang
yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari
meninggalkan
ruangan tersebut.
Terdakwa
dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan
pembunuhan,
dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan
berat.
Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya
pembunuhan
atau penganiayaan berat oleh karena “setidaktidaknya
hanya
karena satu atau lebih keadaan di luar
kehendaknya”.
Terdakwa
dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang
yang
hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai
penyebab
tidak terlaksananya kejahatan yang semula
dikehendakinya.
Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya
60Ibid.,hal.325.
61Ibid.
62LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.31.
Bab
I. Percobaan (Poging)
28
kejahatan
itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada
saat
itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega”
meneruskan
perbuatan yang dikehendakinya semula.
Meskipun
demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya
memberikan
putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai
percobaan.
Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada
faktor
yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadangkadang
dari
luar memaksanya untuk mengundurkan diri.
2.
Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk
mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan
seperti
ini disebut sebagai voltooide, artinya meskipun seseorang
telah
mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul
niatnya
untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak
semula,
namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan,
sebagai
contoh: Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan
sedang
memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan
kesaksian
yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat
dipidananya
orang yang memberikan keterangan tidak benar
karena
delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap
orang
tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian
palsu
terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan
dalam
sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan,
sebenarnya
orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela
terhadap
perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di
depan
sidang pengadilan.
Putusan
Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus
seperti
di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela.
Jadi
dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan
sukarela
orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak
benar.
Akan
tetapi melihat putusan Hoge Raad
tahun 1952
memutuskan
bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik
kesaksian
palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali
keterangannya
setelah penundaan sidang.
3.
Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu
keadaan
seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan,
sementara
itu telah terjadi delik lain yang telah selesai.
Peristiwa
ini disebut dengan guequalificeerde poging atau
percobaan
yang dikualifikasi, sebagai contoh: Seorang yang
berniat
melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam
sebuah
rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki
Percobaan
dan Penyertaan
29
halaman
rumah tersebut. Akan tetapi sebelum masuk ke dalam
rumah
ia sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping
dianggap
melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori
subjektif)
juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik
memasuki
halaman tanpa izin (huisvredebruik) seperti yang
diatur
dalam Pasal 167 KUHP.
Menurut
Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan
kejahatan
yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi
dalam
hal-hal sebagai berikut:63
1.
Adanya penghalang fisik.
Contoh:
tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya
disentakkan
orang sehingga tembakan menyimpang atau
pistolnya
terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada
kerusakan
pada alat yang digunakan misalnya, pelurunya
macet/tidak
meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
2.
Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu
disebabkan
karena akan adanya penghalang fisik.
Contoh:
takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk
mencuri
telah diketahui oleh orang lain.
3.
Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor/keadaankeadaan
khusus
pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh:
Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga
tidak
mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan;
barang
yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah
berusaha
mengangkat-nya sekuat tenaga.
Jika
tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya
sendiri,
maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela.
Sering
dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut
pandangannya,
ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak
mau
meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak
sendiri
secara teori dapat dibedakan antara:64
a.
Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak
menyelesaikan
perbuatan pelaksanaan yang diperlukan
untuk
delik yang bersangkutan; dan
b.
Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan
pelaksanaan
sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela
menghalau
timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut.
63Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Semarang:
Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
1984),hal.15.
64Ibid.,hal.16.
Bab
I. Percobaan (Poging)
30
Misal:
orang memberi racun pada minuman si korban,
tetapi
setelah diminumnya ia segera memberikan obat
penawar
racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
Adapun
maksud dicantumkannya syarat pengunduran secara
sukarela
menurut MvT tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) adalah
untuk:65
a.
Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan
niatnya
secara sukarela tidak dapat dihukum. Jika ia dapat
membuktikan
bahwa pada waktu yang tepat ia masih
mempunyai
keinginan untuk membatalkan niatnya yang
jahat;
dan
b.
Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang
paling
pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu
kejahatan
yang sedang ber-langsung.
E. Perbuatan-Perbuatan yang Mirip dengan Percobaan
1. Ondeugdelijke poging
Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan yang meskipun
telah
ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan tetapi oleh
karena
sesuatu hal, bagaimanapun perbuatan yang diniatkan itu tidak
mungkin
akan terlaksana. Dengan kata lain suatu perbuatan yang
merupakan
percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak
mungkin
pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai
dengan
harapannya.66
Ondeug-delijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul
sehubungan
dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi
delik
yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut
undang-undang
tidak timbul.67 Ada dua hal yang mengakibatkan tidak
sempurnanya
percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang
dipergunakan
tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak
sempurna.
Masing-masing ketidaksempurnaan itu dapat dibagi pula atas
dua
macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak
sempurna
secara nisbi (relatif). Loebby Loqman memberikan contoh
sebagai
berikut:68
65P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.545.
66 LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.35.
67BardaNawawiArief,Op.Cit.,hal.18.
68LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.3536.
Percobaan
dan Penyertaan
31
1.
Ketidaksempurnaan sarana (alat)
a.
Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak
Contoh:
A
ingin membunuh B dengan menggunakan racun
arsenicum.
Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum
ke
dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata
yang
dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum
tetapi
gula pasir.
b.
Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi
Contoh:
Peristiwanya
seperti di atas, tetapi A memberikan racun
arsenicum ke
dalam minuman B dalam dosis yang tidak
mencukupi
sehingga A tetap hidup.
2.
Ketidaksempurnaan sasaran (objek)
a.
Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak
Contoh:
A
ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke
kamar
tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah
meninggal
dunia sebelum ditikam A. Dalam hal ini A tidak
mengetahui
karena kamar tidur B dalam keadaan gelap. Jadi
A
menikam mayat.
b.
Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi
Contoh:
A
ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya
terancam
oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan
menggunakan
rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika
terjadi
penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B,
karena
menggunakan rompi anti peluru B tidak mati.
Barda
Nawawi Arief menyebutkan, bahwa menurut MvT tidak
mungkin
ada percobaan pada objek yang tidak mampu (tidak memadai);
yang
ada hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja,
sebagaimana
disebutkan dalam MvT sebagai berikut:69
“Syarat-syarat
umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah
syarat-syarat
percobaan untuk melakukan kejahatan yang
tertentu
di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya
kejahatan
tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka
percobaan
melakukan kejahatan itupun harus ada objeknya.
Kalau
tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan”.
69BardaNawawiArief,Op.Cit.,hal.1819.
Bab
I. Percobaan (Poging)
32
Selanjutnya
MvT membedakan antara percobaan yang tidak
mampu
karena alatnya, sebagai berikut:70
1.
Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah
mungkin
timbul delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada
delik
percobaan. Mr. Karni memberi contoh: meracuni dengan
air
kelapa.
2.
Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan
delik
selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana
si
pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan
tertentu
dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini
mungkin
ada delik percobaan.
Berdasarkan
apa yang dikemukakan MvT di atas terlihat bahwa
ketidakmampuan
relatif dapat dilihat dari dua segi, yaitu:71
1.
Keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan
perbuatan;
2.
Keadaan tertentu dari orang yang dituju.
Hal
penting untuk diketahui adalah apakah dengan tidak
sempurnanya
alat ataupun objek, dapat dianggap telah terjadi suatu
percobaan.
Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya suatu percobaan
maka
pelaku telah memenuhi tiga syarat percobaan, yaitu ada niat untuk
melakukan
suatu kejahatan, dan sudah mewujudkan niat tersebut ke
dalam
suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan. Tetapi delik yang
dituju
itu tidak selesai (tidak terjadi) karena adanya faktor eksternal dari
diri
orang itu, yaitu karena alatnya atau objeknya itu tidak sempurna.
Apakah
dapat dikatakan telah terjadi suatu percobaan melakukan
pembunuhan
jika A menghujamkan pisau ke dada B, yang ternyata B
telah
mati terlebih dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat
dihukum
C yang hendak membunuh D, dengan cara memberikan racun
ke
dalam minuman D yang ternyata racun tersebut adalah gula?
Dalam
hal seperti ini menurut Loebby Loqman, tergantung dari
teori
mana kita melihatnya, apakah kejadian tersebut dapat dipidana.
Bagi
mereka yang menggunakan teori subjektif, tidak ada perbedaan
antara
ketidaksempurnaan mutlak maupun ketidaksempurnaan nisbi,
karena
dianggap dari semula pelaku sudah mempunyai niat untuk
melakukan
kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan
adanya
perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga
dengan
demikian peristiwa tersebut sudah merupakan suatu perbuatan
percobaan
melakukan kejahatan. Namun tidak demikian halnya dengan
teori
objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat
70Ibid.,hal.19.
71Ibid.
Percobaan
dan Penyertaan
33
dipidana.
Sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin
menyelesaikan
kejahan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap
tidak
mungkin membahayakan kepentingan hukum. Bagi teori objektif,
ketidaksempurnaan
nisbi sebenarnya telah sampai kepada penyelesaiaan
kejahatan
yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian
rupa
sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut teori
objektif,
hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum sehingga
pelaku
perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak, baik
sasaran
maupun sarana, dianggap tidak merupa-kan hal yang
membahayakan
kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku
dipidana.
Apa yang dilakukan pelaku tidak sampai kepada hal yang
dimaksudkan
untuk kejahatan itu. Karena nyata-nyata sarana ataupun
sasarannya
mutlak salah.72
Dengan
melihat putusan perkara “Uang Sen Logam” Hoge
Raad ternyata
mempergunakan teori objektif. Putusan Hoge
Raad
tanggal
7 Mei 1906, No.W.8372, kasusnya berkenaan dengan seorang
pemilik/pengelola
toko yang mencoba meracuni suaminya yang sakit
dengan
campuran teh dan bir dengan tambahan residu obat dan koin
tembaga.
Campuran ini tidak dianggap memunculkan tindak percobaan.
Harus
diakui bahwa campuran tersebut merupakan sarana yang tidak
mampu
(mutlak).73
2. Mangel am tatbestand
Van
Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan, bahwa
Mangel am Tatbestand merupakan suatu kesalahpahaman, akan tetapi
berbeda
dengan putatief delict dimana orang yang melakukan suatu
perbuatan
itu telah mengira bahwa apa yang telah dilakukannya itu
merupakan
suatu delik, padahal kenyataannya tidak demikian, maka
pada
apa yang disebut dengan Mangel am
Tatbestand itu adalah
berkenaan
dengan de bijzonderheden van de
fetelijke situatie atau
dengan
kekhususan-kekhususan dari keadaan yang sebenarnya.74
Mangel am Tatbestand adalah suatu perbuatan yang diarahkan
untuk
mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak
memenuhi
salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Di sini telah
terjadi
kesesatan atau kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak
pidana.
Contohnya: orang yang melaksanakan kehendak untuk mencuri
dengan
mengambil suatu barang yang dikiranya barang milik orang lain,
ternyata
miliknya sendiri. Seorang laki-laki yang kawin lagi yang dia
72LoebbyLoqman,Op.Cit.,hal.37.
73JanRemmelink,Op.Cit.,hal.295.
74P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.552.
Bab
I. Percobaan (Poging)
34
mengira
telah melanggar larangan poligami, ternyata istrinya itu
sebelumnya
telah meninggal dunia.75
Pada
kedua contoh di atas, walaupun pada keadaan yang
sebenarnya
orang itu telah selesai melakukan perbuatan, tetapi tidaklah
terjadi
kejahatan. Tidaklah mungkin mencuri barang yang pada
kenyataannya
milik sendiri. Demikian juga tidak mungkin melakukan
poligami
dimana kenyataannya isterinya terdahulu sebelumnya telah
meninggal
dunia. Di sini tidak terjadi kejahatan, dan dengan demikian
juga
tidak mungkin terjadi percobaannya. Di sini tidak terjadi kesesatan
hukum
yang dikiranya ada, melainkan kesesatan mengenai suatu
keadaan
yang diperlukan untuk dapatnya perbuatan itu dipidana. Orang
itu
tidak mengetahui bahwa (unsur) barang itu miliknya sendiri, dan
laki-laki
itu tidak mengetahui jika istrinya terdahulu telah meninggal
dunia.76
Keanehan
dari Mangel am Tatbestand adalah bahwa hasil yang
dikehendaki
pembuat terwujud di luar dirinya. Hal yang sama berlaku
untuk
seseorang yang menembak orang mati yang dikiranya masih
hidup.
Pada tahun 1897 Hoge Raad menetapkan bahwa pengguguran
dalam
Pasal 348 KUHP hanya dapat dipidana kalau kandungan hidup
waktu
perbuatan pengguguran dilakukan. Jika tidak, maka tidak ada
pengguguran
sama sekali; juga tidak ada percobaan karena perbuatan
telah
selesai. Tetapi dihubungkannya itu dengan percobaan dapat
dimengerti
karena dalam kedua hal, di luar kehendaknya, si pembuat
berada
di luar pemenuhan seluruhnya dari rumusan delik. Namun dalam
hal
percobaan tujuan yang hendak dicapai tidak terjadi sedangkan pada
Mangel am Tatbestand tujuan tersebut telah tercapai.77
Mangel am tatbestand ini hanya dikenal dalam doktrin hukum.
Menurut
Simmons, tindakan-tindakan yang telah selesai dilakukan dan
ternyata
tidak memenuhi salah satu unsur dari unsur-unsur yang telah
disyaratkan
oleh undang-undang itu, seharusnya tidak dibicarakan
dalam
pembahasan mengenai poging, oleh karena itu tindakan-tindakan
semacam
itu sebenarnya tidak lain daripada tindakan-tindakan yang
tidak
terlarang.78
3. Putatief delict
Putatief delict itu
sebenarnya bukan merupakan suatu delik
ataupun
suatu percobaan untuk melakukan apa yang disebut putatief
delict tersebut,
melainkan merupakan kesalahpahaman dari seseorang
75AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.58.
76Ibid.
77D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.224225.
78P.A.F.Lamintang,Op.Cit.,hal.552553.
Percobaan
dan Penyertaan
35
yang
mengira bahwa perbuatan yang telah ia lakukan di dalam suatu
keadaan
tertentu itu merupakan suatu perbuatan yang terlarang dan
diancam
dengan suatu hukuman, padahal perbuatan seperti itu tidak
diatur
dalam suatu undang-undang pidana, dan oleh karena itu orang
tersebut
tidak dapat dihukum. Jelaslah bahwa tidak dapat dihukumnya
orang
tersebut adalah karena tidak adanya suatu ketentuan pidana yang
melarang
perbuatannya.79
Berbeda
dengan Mangel am Tatbestand yang berupa kesalahpahaman
terhadap
salah satu unsur tindak pidana, tetapi pada putatief
delict ini
adalah
terjadinya kesesatan hukum (rechtsdwaling) pada seseorang yang
melakukan
perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana.
Putatief delict ini
bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan
percobaan,
melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang
melakukan
suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan tindak
pidana,
padahal sebenarnya perbuatan itu bukan merupakan tindak
pidana.80
Misalnya,
orang asing yang melakukan perbuatan yang menurut
hukum
negaranya merupakan tindak pidana kesusilaan, tetapi di sini
bukan
merupakan tindak pidana. Oleh karena di sini bukan tindak
pidana,
maka disini tidak dapat dipidana menurut hukum Indonesia.
Tidak
dipidananya si pembuat dalam hal putatief
delict ini karena
perbuatannya
itu bukan tindak pidana, dan demikian juga tidak ada
percobaan
yang dipidana pada sesuatu yang bukan tindak pidana.81
D.
Schaffmeister, (et.al.),menyebutkan,
bahwa delik putatif ada
kalau
apa yang telah dilakukan ternyata sama sekali tidak dilarang oleh
undang-undang, berlawanan
dengan perkiraan pembuat waktu dia
berbuat.
Dapat dipikirkan bahwa dua orang asing dewasa melakukan
hubungan
homo di Belanda dan mengira mereka telah melakukan
perbuatan
pidana. Kesesatan tentang norma yang bersangkutan atau
tentang
dapat dipidana pelanggarannya inilah yang mirip dengan
percobaan,
yaitu percobaan yang tidak pernah akan menimbulkan hasil
yang
dapat dipidana, karena tidak adanya larangan.82
4. Percobaan selesai, percobaan tertunda, dan
percobaan yang
dikualifisir
Dalam
hal percobaan, dibicarakan pula apa yang dimaksud
dengan
percobaan selesai (delik manque), percobaan tertunda
(geschorste poging),
dan percobaan yang dikualifisir (gequalificeerde
poging).
79Ibid.,hal.552.
80AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.59
81Ibid.,hal.60.
82D.Schaffmeister,(et.al.),Op.Cit.,hal.225.
Bab
I. Percobaan (Poging)
36
a. Percobaan selesai
Percobaan
selesai (disebut juga dengan delik manque) adalah
melakukan
perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana
yang
pelaksanaannya sudah begitu jauh, sama seperti tindak pidana
selesai
akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi.
Dikatakan
percobaan, oleh karena tindak pidana yang dituju tidak
terjadi,
dan dikatakan selesai oleh sebab pelaksanaannya sesungguhnya
sama
dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana
selesai,
sebagai contohnya orang yang berkehendak membunuh musuhnya,
dia
telah mengarahkan moncong senapan ke tubuh musuhnya itu, pelatuk
telah
ditariknya, senapan telah meletup, peluru telah melesat, tetapi
tidak
mengenai sasaran.83
Jan
Remmelink dalam hal ini memberikan sebuah ilustrasi
sebagai
berikut: 84
Terdakwa
meracuni istrinya, ia telah melakukan segala daya
upaya
untuk menuntaskan tujuan akhir delik yang hendak diperbuatnya,
yaitu
pembunuhan. Ternyata istrinya mempunyai daya tahan fisik luar
biasa,
dan ia ‘kebetulan’ tidak meninggal. Sekalipun di sini terdakwa
telah
secara tuntas menempuh jalur kriminal (iter
criminis), akibatnya
(yang
ia harapkan) ternyata tidak terjadi. Dalam hal ini kita berbicara
tentang
delik manque (beendigter Versuch, ‘tindak pidana yang
dilakukan
tuntas, namun kebetulan tidak berhasil’).
Pada
percobaan selesai, jika dilihat dari perbuatannya sebenarnya
bukan
lagi percobaan, karena baik niat, permulaan pelaksanaan dan
pelaksanaannya
telah selesai. Hanya oleh sebab tindak pidana yang dituju
tidak
terjadi, semata-mata dilihat dari hasil akhir dari pelaksanaan yang
telah
selesai saja, dan tidak mencapai apa yang dikehendaki, yang
menyebabkan
persoalan ini masih dapat dikategorikan pada percobaan.85
b. Percobaan tertunda
Sudarto
dan Wonosutanto86 menyebutkan, bahwa dikatakan ada
percobaan
tertunda (percobaan terhenti atau percobaan yang tidak
lengkap
atau Incompleted attempt), jika kelakuan yang diperlukan untuk
kejahatan
belum semua dilaksanakan karena ada penghalang dari luar
atau
karena tidak mungkinnya tindakan itu dilengkapkan, atau karena
urungnya
dilakukan tindakan itu secara sukarela.
Percobaan
tertunda, adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya
terhenti
pada saat mendekati selesainya kejahatan. Misalnya, seorang
pencopet
yang telah mengulurkan dan memasukkan tangannya dan telah
83Ibid.,hal.60.
84JanRemmelink,Op.Cit.,hal.287.
85AdamiChazawi,Op.Cit.,hal.61
86��SudartodanWonosutanto,Op.Cit.,h.25.
Percobaan
dan Penyertaan
37
memegang
dompet dalam tas seorang perempuan, tiba-tiba perempuan
itu
memukul tangan pencopet itu, dan terlepas dompet yang telah
dipegangnya.
Juga terdapat pada contoh orang telah membidik dengan
senapan
terhadap orang yang hendak dibunuhnya, dengan tiba-tiba ada
orang
lain memukul tangannya dan terlepaslah senapan dari tangannya.
Pada
kasus ini benar-benar percobaan kejahatan yang dapat dipidana,
seluruh
syarat atau unsur dari Pasal 53 ayat (1) KUHP telah terpenuhi.87
c. Percobaan yang dikualifisir
Percobaan
yang dikualifisir terjadi jika pelaku membatalkan
lanjutan
tindakan yang diniatkannya secara sukarela untuk melakukan
suatu
kejahatan tertentu, tetapi telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana
lainnya. Dalam hal ini pelaku dapat dituntut berdasarkan tindak
pidana
lainnya itu, contohnya A hendak membunuh B sekeluarga.
Untuk
melaksanakan niatnya itu, pada tengah malam A menyiram
rumah
B dengan bensin dan membakarnya dengan maksud supaya B
dan
keluarganya mati terbakar. Tetapi setelah terjadi kebakaran, ia
merasa
menyesal (secara sukarela), lalu ia mendobrak salah satu pintu
yang
belum terbakar dan turut mengusahakan supaya B dan keluarganya
selamat.
Akhirnya B dan keluarganya selamat, tetapi rumah B tetap
terbakar.
Dalam hal ini A dipersalahkan melakukan pembakaran rumah,
sedangkan
untuk percobaan pembunuhan tidak. Artinya percobaan
untuk
membunuh yang tidak dipidana, dirubah menjadi pembakaran.88
Adami
Chazawi menyebutkan, bahwa percobaan yang
dikualifisir
adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya
merupakan
tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju.
Misalnya,
seorang dengan maksud membunuh orang yang dibencinya
dengan
tusukan pisau, dan tidak mati tetapi hanya luka-luka berat. Pada
orang
ini terdapat kehendak untuk membunuh, tikaman pisau itu
diarahkan
pada matinya korban, akan tetapi kematian tidak timbul,
artinya
pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah penganiayaan
yang
menimbulkan luka berat (Pasal 351 ayat 3 KUHP), atau mungkin
penganiayaan
berat (Pasal 351 ayat 1 KUHP), atau penganiayaan
berencana
yang menimbulkan luka berat (Pasal 353 ayat 2 KUHP), atau
penganiayaan
berat berencana (Pasal 355 ayat 1 KUHP).89
Selanjutnya
disebutkan bahwa, dasar penyebutan percobaan
yang
dikualifisir dengan contohnya tersebut di atas, hanyalah dilihat dari
sudut
pada kenyataan riil semata, artinya sudut obyektif. Pada
pembunuhan
dimana akibat kematian tidak timbul, tetapi hanya luka-
87AdamiChazawi,hal.61.
88E.Y.KanterdanS.R.Sianturi,Op.Cit.,hal.332.
89AdamiChazawi,hal.61.
Bab
I. Percobaan (Poging)
38
luka
saja, disebut atau dikualifisir sebagai tindak pidana lain hanya oleh
sebab
penglihatan dari luar saja. Akan tetapi jika dilihat dari sudut
subyektif,
syarat batin si pembuat, sesungguhnya kasus seorang yang
hendak
membunuh dengan pelaksanaannya menikam, dari tikaman tidak
menimbulkan
kematian tetapi hanya luka-luka saja, tidak dapat
dikualifisir
sebagai penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Karena
dari
sudut batin sungguh berbeda antara pembunuhan dengan penganiayaan.
Pada
pembunuhan sikap batin ialah kehendak selalu ditujukan
pada
hilangnya nyawa (kematian) korban. Tetapi pada penganiayaan
kesengajaan
hanya ditujukan pada penderitaan fisik belaka, bisa sematamata
rasa
sakit atau bisa juga pada rasa sakit berupa luka-luka. Jika
kesengajaan
penganiayaan sekedar pada rasa sakit semata-mata disebut
dengan
penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP), sedangkan apabila
kesengajaan
itu ditujukan pada rasa sakit yang berupa luka berat,
disebut
dengan penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP). O1eh sebab itu
orang
yang berkehendak untuk membunuh, yang perbuatan pelaksanaannya
(misalnya
menusuk), ternyata hanya luka-luka saja, tidaklah dapat menjadi
tindak
pidana lain yang selesai, misalnya penganiayaan biasa yang
menimbulkan
luka berat (Pasal 351 ayat 2 KUHP). Kasus itu tetap
percobaan
pembunuhan (Pasal 338 jo. 53 KUHP), dan tidak dapat
disebut
penganiayaan yang menimbulkan luka berat.90
90Ibid.,hal.62.
0 comments:
Post a Comment